antrian BLT

Tak pikir tadinya ada kecelakaan koq jalan depan Babakan Raya IPB begitu macetnya, kalau hanya ulah angkot ga mungkin separah ini. Bergerak sedikit demi sedikit hingga depan Zona Computer ternyata hanya antrian penerima BLT di Kantor Pos Darmaga.img_0580

masih soal hape

Dari kampus Salemba untuk pulang ke Bogor lewat stasiun Gondangdia pilihan paling gampang adalah naik BMW (pake istilah puspita untuk Bajaj Merah Warnanya).

Menyusuri jalan Kramat Raya yang ga terlalu macet di senja hari sambil liat-liat orang Jakarta yang sibuk (ga pagi, ga siang ga sore sibuk ya…. ) tiba-tiba BMWku nyaris diserempet mobil Xenia. Liat penumpangnya perempuan nyaris memaklumi (bener ga sich eprempuan di jalan lebih sembrono dari laki-laki, wah perlu kajian mendalam nich ech siapa tau bisa jadi thesis hehehe) tapi yang bikin hati mangkel adalah perilaku si pengemudi itu. Di jalan Kramat Raya yang udah raya gitu koq sempet-sempetnya ber-SMS-ria.

Kasian banget tuch ceweq. Otaknya nganggur ga pernah dipakai, atau mungkin otaknya punya dua partisi seperti laptopku ada partisi C untuk system dan partisi D untuk data (partisi C untuk nyupir partisi D untuk sms). Padahal tadi di kampus lagi baca dan diskusi hangat tentang peraturan pak polisi yang akan menilang kalau ada pengendara pake hape 

Perilaku yang ga jauh beda dan amat sangat disayangkan kalau lagi jalan di seputar Bara (Babakan raya) dekat kampus IPB Darmaga. Predikat yang disandang sebagai mahasiswa dan kaum intelek tiba-tiba aja ga ada artinya didepanku kalau sampai ada mahasiswa yang ber-SMS sambil naik motor. Pernah saja aku bntak beberapa mahasiswa dengan perilaku demikian tapi mungkin otaknya udah kelelahan dengan tugas berat di kuliah sehingga ga bisa mikir bahayanya.

Transportasi kampus

Studi kasus UI, UGM dan IPB
Kampus terpadu, itu mungkin trend yang ada untuk menyatukan beberapa fakultas yang semula tersebar di berbagai tempat untuk kemudian dijadikan satu lokasi. Tapi ungkapan itu mungkin tidak berlaku bagi ketiga universitas yang masuk 5 besar di Indonesia UI, UGM dan IPB. Dibangunnya kampus UI di Depok bukan untuk menyatukan lokasi fakultas di bawah UI tapi pengembangan UI yang sudah tidak bisa jika harus tetap ada di Salemba. Jika sekarang masih ada fakultas yang melaksanakan belajar mengajar di Salemba tak lain karena tuntutan lokasi harus ada disana. Fakultas Kedokteran dan Kedokteran gigi mau tidak mau harus dekat dengan RS pendidikan yaitu RSCM. Demikian pula program studi MTI,MM dan Isipol yang mana stakeholder yang terlibat banyak dari kota Jakarta sendiri.
Sejarah yang mirip juga terjadi di IPB. Pemindahan dari Baranangsiang ke Dramaga tak lain karena kampus ini perlu pengembangan wilayah terlebih untuk laboratorium lapangan (maklum saja perguruan tinggi pertanian yang butuh lahan praktek) yang tidak akan terakomodasi jika masih berada di dalam kota.
Agak lain dengan UGM yang sejak awal diberi lahan untuk dikembangkan di daerah sekitar Sekip oleh Kesultanan Jogja (kalau tidak salah).
Ditinjau dari sudut mata transportasi, maka kampus UGM yang sejak awal sebagai kampus terbuka maka bisa dibilang hampir tidak ada kendala bagi mahasiswa dan stakeholder lain untuk menjangkau tiap-tiap fakultas atau lembaga lain di UGM. Angkutan kota baik bis kota maupun angkutan lain masuk ke UGM melalui outer ringroadnya UGM dan hampir tidak ada lembaga UGM yang tidak terjangkau angkutan.
Yang serupa dan sebangun adalah IPB dan UI. Kedua perguruan tinggi ini menerapkan sistem kampus tertutup alias hanya yang berkepentingan yang masuk ke dalam kampus ini. UI memiliki sebuah shelter untuk bis kota, taksi dan angkot serta dua buah stasiun KRL yaitu stasiun UI dan pondok cina. Dari ketiga pintu masuk inilah mahasiswa dan stakeholder masuk ke dalam kampus. dari dalam kampus sendiri telah menyediakan alat transportasi berupa bus kampus untuk menuju ke tempat yang diinginkan dengan gratis karena untuk pemeliharaan bis ini sudah termasuk dalam SPP yang dibayar setiap bulan. Namun pada jam-jam tertentu okupansi bus kampus ini terlalu tinggi sehingga membuka peluang adanya ojek sepeda motor bagi yang mau untuk mengeluarkan uang lebih dan waktu yang mengejar.
Lain lagi dengan kampus IPB. Dengan kampus yang cukup luas namun mahasiswa dan stakeholder lain hanya punya dua pilihan untuk menuju ke lokasi yang diinginkan. jalan kaki bagi yang cukup kuat jalan hingga lebih 1 km (jarak titik terjauh terukur dari pintu masuk utama maupun tidak resmi seperti ‘tembok berlin’) atau menggunakan ojek dengan biaya sekali jalan 2000 perak. Fihak kampus sendiri mempunyai bis tetapi ini digunakan hanya oleh dosen dan staf karyawan IPB bukan mahasiswa untuk antar jemput berangkat pulang atau sebagai bis wira-wiri dan kampus Baranangsiang dengan Dramaga.